Jumat, 05 Maret 2010

Letter of Credit Bukan Milik Misbakhun

A. LATAR BELAKANG

Inisiator Pansus Hak Angket Bank Century yang berasal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Misbakhun, saat ini menjadi pusat perhatian sebelum digelarnya Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang akan membahas hasil rekomendasi dari Pansus Hak Angket Bank Century. Hal ini disebabkan oleh adanya laporan dari Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Bidang Sosial dan Bencana, Andi Arief, terhadap dirinya (Misbakhun) terkait dengan adanya dugaan Letter of Credit (L/C) fiktif atas nama PT. Selalang Prima Internasional (SPI) di Bank Century[1]. Misbakhun dikaitkan dengan kasus ini karena dirinya merupakan pemegang saham mayoritas dan sekaligus menduduki jabatan sebagai komisaris utama pada PT. SPI. Dalam perseroan[2] tersebut Misbakhun memiliki saham sebesar 99% (sembilan puluh sembilan perseratus), dan sisanya sebesar 1% (satu perseratus) dimiliki Frangky Ongkowardoyo yang sekaligus menduduki jabatan sebagai Direktur Utama pada PT. SPI. Selain itu, Andi Arief juga menyatakan bahwa Misbakhun tidak menyertakan L/C perusahaannya (PT. SPI) yang berada di Bank Century dalam laporan harta kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

B. LETTER OF CREDIT DAN MISBAKHUN

Dari posisi kasus di atas kiranya disini yang menjadi kata kunci adalah L/C yang berada di Bank Century tersebut atas nama PT. SPI, bukan atas nama Misbakhun, terlepas dari fiktif atau tidaknya L/C tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa L/C tersebut adalah milik PT. SPI, dan bukan milik Misbakhun. Kesimpulan ini didasarkan pada sebuah alasan bahwa PT. SPI sebagai sebuah perseroan merupakan suatu badan hukum.[3] Menurut R. Subekti, badan hukum adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hukum.[4] Selanjutnya menurut Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, pengertian tentang pribadi hukum ialah suatu badan yang memiliki harta kekayaan terlepas dari anggota-anggotanya, dianggap sebagai subyek hukum, mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, mempunyai tanggung jawab dan memiliki hak-hak serta kewajiban-kewajiban seperti yang dimiliki oleh seseorang.[5] Dari kedua pendapat di atas kiranya dapat menunjukkan bahwa antara PT. SPI sebagai suatu badan hukum dan Misbakhun sebagai pemegang saham memiliki harta kekayaan yang terpisahkan. Oleh karena itu, sungguh keliru apabila dikatakan bahwa Misbakhun memiliki kewajiban untuk menyertakan L/C perusahaannya (PT. SPI) yang berada di Bank Century dalam laporan harta kekayaannya kepada KPK. Dalam Pasal 5 angka 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dinyatakan bahwa penyelenggara negara[6] memiliki kewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Sementara dalam kasus ini L/C tersebut bukanlah bagian dari kekayaan Misbakhun, melainkan kekayaan dari PT. SPI. Sehingga kiranya akan lebih tepat apabila dikatakan bahwa Misbakhun sebagai pemegang saham hanya memiliki kewajiban untuk menyertakan bukti pemilikan saham yang dimilikinya[7] dalam laporan harta kekayaannya sebagai penyelenggara negara. Hal ini dikarenakan saham merupakan benda bergerak yang dimiliki oleh pemegang saham[8] dalam sebuah perseroan.



[1] Saat ini telah berganti nama menjadi Bank Mutiara setelah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor: 11/47/KEP.GBI/2009 tertanggal 16 September 2009.

[2] Disini yang dimaksud perseroan adalah Perseroan Terbatas, dalam hal ini PT. SPI, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[3] Indonesia, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN. No. 106 Tahun 2007, TLN No. 4756, Psl. 1 angka 1.

[4] Chidir Ali, Badan Hukum, cet. II, (Bandung: PT. Alumni), hal. 19.

[5] Ibid., hal. 20.

[6] Dalam hal ini Misbakhun merupakan pejabat negara yang menjalankan fungsi legislatif sebagai anggota DPR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

[7] Indonesia, op. cit., Psl. 51.

[8] Ibid., Psl. 60 ayat (1).

Minggu, 28 Februari 2010

Definisi dan Implementasi Kolusi

Definisi kolusi secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, tepatnya diatur dalam Pasal 1 angka 4 yang berbunyi:

Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-Penyelengara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan/atau Negara.

Dari definisi di atas, terdapat unsur-unsur dari kolusi, yaitu:

1. Adanya permufakatan atau kerja sama

Unsur ini semakin menegaskan bahwa perbuatan kolusi hanya dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan adanya permufakatan atau kerja sama diantara mereka. Sementara permufakatan dalam Kitab Undan-Undang Hukum Pidana (KUHP) lebih dikenal dengan istilah “permufakatan jahat”, yaitu permufakatan untuk melakukan kejahatan.[1]

2. Secara melawan hukum

Dalam hal ini yang dimaksud secara melawan hukum adalah perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, artinya perbuatan tersebut tidak hanya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, melainkan juga perbuatan yang dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma sosial kehidupan dalam masyarakat.[2] Selain itu, menurut Prof. Jan Remmelink dengan adanya sifat melawan hukum ini maka harus dapat dibuktikan ketiadaan alasan pembenar dalam perbuatan tersebut, yang sebenarnya dapat menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatan itu.[3]

3. Penyelenggara Negera

Berdasarkan undang-undang yang dimaksud Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelengaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[4]

4. Pihak lain

Dalam penjelasan umum undang-undang ini yang dimaksud dengan pihak lain adalah keluarga, kroni, dan para pengusaha.[5]

5. Adanya kerugian

Dengan adanya unsur kerugian disini maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan kolusi ini masuk ke dalam kategori delik materiil, artinya adanya perbuatan kolusi ini tidak cukup hanya dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, namun juga harus menimbulkan suatu akbiat, yaitu berupa kerugian, baik kepada orang lain, masyarakat, dan/atau negara, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.

Sementara bentuk implementasi dari definisi kolusi di atas kiranya dapat tercermin pada artikel yang ditulis oleh Prof. Didik J. Rachbini yang berjudul “Kolusi Penguasa-Pengusaha”. Dalam artikelnya beliau mengangkat pandangan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang melihat bahaya kolusi penguasa, dalam hal ini sebagai penyelenggara negara, dengan pengusaha sebagai pihak lain[6] dalam definisi kolusi menurut undang-undang. Dalam pandangannya Presiden menyatakan, bahwa kolusi antara penguasa dan pengusaha merupakan biang kehancuran bangsa dan negara. Pandangan ini sama dan sebangun dengan pandangan Mancur Olson. Pada awal 1980-an, Olson mengembangkan teori tindakan kolektif dalam rangka menjelaskan jatuh dan bangunnya suatu bangsa (The Rise and Decline of Nations). Buku ini membahas teori tindakan kolektif dalam kaitan hubungan pengusaha dengan penguasa. Dicari sebab-musabab, mengapa suatu negara mengalami kemunduran dan yang lain tidak. Dari pemikirannya ditemukan satu faktor utama yang menyebabkan kehancuran suatu bangsa, yakni gangguan koalisi pengusaha yang berkolusi dengan penguasa dalam sistem kelembagaan negara.

Dalam artikel tersebut selanjutnya dikemukakan bahwa perwujudan dari kolusi tersebut dituangkan dalam sebuah kebijakan yang lahir dari lobi kolusif, dan dikeluarkan semata-mata untuk memberikan proteksi kepada segelintir pengusaha sebagai rekan kolusinya. Kondisi inilah yang menyebabkan aspek efisiensi hancur, keadilan tertindas, sampai akhirnya memukul ekonomi rakyat karena digantikan ekonomi konglomerasi.



[1] Indonesia, (a), Kitab Undang-Undaang Hukum Pidana, Psl. 88.

[2] Indonesia, (b), Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 3874, Penjelasan Psl. 2 ayat (1).

[3] Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanaannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 191-192.

[4] Indonesia, (c), Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, UU No. 28 Tahun 1999, LN No. 75 Tahun 1999, TLN No. 3851, Psl. 1 angka 1.

[5] Ibid., Penjelasan Umum.

[6] Ibid.

Kontraprestasi Langsung Dalam Pajak Daerah

A. LANDASAN FILOSOFIS PAJAK

Ditinjau dari sejarahnya, masalah pajak ini sudah ada sejak zaman dahulu kala walaupun pada saat ini belum dinamakan “pajak”, namun masih merupakan pemberian yang bersifat sukarela dari rakyat kepada rajanya. Perkembangan selanjutnya pemberian itu berubah menjadi upeti yang sifat pemberiannya dipaksakan dalam arti bahwa pemberian itu bersifat “wajib” dan ditetapkan sepihak oleh negara. Dengan kata lain “pajak” yang semula merupakan pemberian berubah menjadi pungutan, hal ini adalah wajar karena kebutuhan negara akan dana semakin besar dalam rangka untuk memelihara kepentingan negara, yaitu untuk mempertahankan negara dan melindungi rakyatnya dari serangan musuh maupun untuk melaksanakan pembangunan,[1] contonya untuk menyediakan fasilitas umum yang diperuntukkan bagi masyarakat. Singkat kata, untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya maka negara harus melaksanakan pemungutan pajak.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis pemungutan pahak didasarkan atas pendekatan “benefit approach” atau pendekatan manfaat. Pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas dasar folosofis yang membenarkan negara melakukan pemungutan pajak sebagai pungutan yang dapat dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan pemaksa. Pendekatan manfaat (benefit approach) ini mendasarkan suatu falsafah: oleh karena negara menciptakan manfaat yang dapat dinikmati oleh seluruh warga negara yang berdiam dalam negara, maka negara berwenang memungut pajak dari rakyat dengan cara yang dapat dipaksakan.[2]

Selain itu, di dalam Literatur Ilmu Keuangan Negara, kita temukan teori-teori yang memberikan dasar pembenaran atau landasan filosofis daripada wewenang negara untuk memungut pajak yang dapat dipaksakan. Teori-teori tersebut adalah:[3]

1. Teori Asuransi

Dalam teori ini intinya menyatakan bahwa tugas negara adalah untuk melindungi orang dan/atau warganya dengan segala kepentingannya, yaitu keselamatan dan keamanan jiwa dan harta bendanya. Sebagaimana pada perjanjian asuransi dan pertanggungan maka untuk perlindungan tersebut diperlukan pembayaran premi, dan dalam hal ini, pembayaran pajak dianggap atau disamakan dengan pembayaran premi tersebut. Teori ini banyak yang menentang karena pembayaran pajak tidak dapat disamakan dengan pembayaran premi oleh seseorang kepada perusahaan pertanggungan, dan negara tidak dapat dipersamakan dengan perusahaan asuransi karena:

(1) dalam hal timbul kerugian tidak ada suatu penggantian dari negara;

(2) antara pembayaran jumlah-jumlah pajak dengan jasa perlindungan yang diberikan oleh negara tidak terdapat hubungan yang langsung.[4]

Dengan adanya kepincangan persamaan tadi, yang menimbulkan ketidakpuasan, maka semakin lama semakin berkuranglah jumlah penganut teori ini, sehingga dapat dikatakan tamatlah riwayatnya kini.[5]

2. Teori Kepentingan

Teori ini menekankan bahwa pembagian beban pajak pada penduduk seluruhnya harus didasarkan kepentingan orang masing-masing dalam tugas negara, termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu serta harta bendanya. Pembayaran pajak hendaknya dihubungkan dengan kepentingan orang-orang itu terhadap tugas negara. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan kepada seluruh penduduk tersebut. Teori ini banyak pula yang menyanggahnya, karena setiap orang yang mempunyai kepentingan lebih besar seharusnya membayar pajak yang lebih besar pula. Hal ini bertentangan dengan kenyataan, karena mingkin sekali orang miskin yang mempunyai kepentingan yang lebih besar, baik dalam perlindungan, jaminan sosial dan sebagainya, sehingga sebagai konsekuensinya seharusnya membayar pajak lebih banyak, namun kenyataannya justru mereka ini tidak membayar pajak.[6] Lagipula untuk mengambil kepentingan seseorang dalam usaha negara sebagai ukuran, sejak dahulu kala belumlah ada alat-alat pengukurnya, sehingga sukar sekali akan dapat ditentukan dengan tegas. Oleh karenanya, maka semakin berkuranglah jumlah sarjana yang mempertahankan teori yang tidak sesuai kenyataan ini.[7]

3. Teori Gaya Pikul

Teori ini pada hakekatnya mengandung kesimpulan bahwa dasar pemungutan pajak adalah terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk keperluan perlindungan ini diperlukan biaya yang harus dipikul oleh segenap orang yang menikmati perlindungan tersebut, yaitu dalam bentuk pajak. Tentunya pajak yang harus dibayar sesuai dengan gaya pikul seseorang, dan sekedar untuk mengukur gaya pikul dapat dilihat dari dua unsur, yaitu unsur obyektif yang terdiri dari penghasilan, kekayaan, dan besarnya pengeluaran (belanja) seseorang, serta unsur subyektif, yaitu segala kebutuhan terutama materiil, dengan memperhatikan besar-kecilnya jumlah tanggungan keluarga. Semakin besar kebutuhan yang harus dipenuhi, semakin kecil kekuatan seseorang untuk membayar pajak.[8]

Prof. W.J. de Langen memberikan definisi dari gaya pikul sebagai berikut:

Gaya pikul adalah besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya, setelah dikurangi dengan yang mutlak untuk kebutuhan yang primer.[9]

Kekuatan yang dimaksud dari definisi di atas adalah kemampuan untuk membayar uang kepada negara, berupa pajak, yang diukur dari penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya setelah dikurang dengan kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar yang dimaksud disini adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa ditunda-tunda, seperti makan, pakaian, perumahan, dan biaya pendidikan.[10]

Sementara A.J. Cohan Stuart menyamakan gaya pikul seperti sebuah jembatan, yang pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendiri, sebelum dicoba untuk dibebaninya dan menyarankan ajaran, bahwa yang sangat diperlukan untuk kehidupan harus tidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul. Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara barulah ada, jika kebutuhan-kebutuhan prmair untuk hidup telah tersedia. Hak manusia yang pertama adalah hak untuk hidup. Sehingga hak pertama bagi setiap manusia yang dinamakan hak dasar ini harus pertama-tama diperhatikan, seperti memang ternyata halnya dengan pajak-pajak atas pendapatan dan kekayaan hampir disemua negara.[11]

4. Teori Bakti

Teori ini sering disebut teori kewajiban pajak mutlak, yang pada intinya mengatakan bahwa negara sebagai organisasi dari golongan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan dalam bidang pajak.[12] Menurut teori ini, negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Tanpa negara, maka individu pun tidak ada, dan pembayaran pajak oleh individu kepada negara adalah dipandang sebagai tanda baktinya kepada negara. Teori ini selalu menitikberatkan kepada negara, yakni seolah-olah individu itu tidak dapat hidup tanpa negara, tetapi negara dapat hidup tanpa individu. Padahal realitasnya tidak demikian, sebab negara pun tak mungkin hidup tanpa individu.[13] Kiranya teori ini pun bertentangan dengan prinsip demokrasi di Indonesia, dimana kedaulatan tertinggi pada negara sepenuhnya berada ditangan rakyat.[14]

5. Teori Gaya Beli

Teori ini tidak mempermasalahkan asal mulanya negara memungut pajak, melainkan hanya melihat pada akibat pemungutan pajak tersebut, dan memandang akibat yang baik itu merupakan dasar keadilan. Menurut teori ini maka fungsi pemungutan pajak dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga-rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara kehidupan masyarakat dan untuk membawa ke arah tertentu, yaitu kesejahteraan. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar pembenaran pemungutan pajak, bukan kepentingan individu, pun bukan kepentingan negara melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya (individu dan negara).[15] Oleh karenanya, teori ini lebih menitikberatkan pajak dalam fungsinya untuk mengatur (regulerend).[16]

Teori-teori di atas merupakan pemecahan atas dasar pembenar untuk menyatakan keadilan pemungutan pajak oleh negara, sehingga para ahli di bidang keuangan negara khususnya di bidang perpajakan menamakannya sebagai asas menurut falsafah hukum, dan oleh Adam Smith dimasukkan dalam maxim pertama dalam ajarannya “The Four Maxims” (empat aksioma/asas dalam pemungutan pajak).[17]

B. DEFINISI PAJAK

Banyak para ahli dalam bidang perpajakan yang memberikan pengertian atau definisi yang berbeda-beda mengenai pajak, namun demikian berbagai definisi tersebut mempunyai inti atau tujuan yang sama, diantaranya adalah:

1. Prof. Dr. P.J.A. Adriani memberikan definisi sebagai berikut:

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak untuk membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah.[18]

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Adriani memasukkan pajak sebagai pengertian yang dianggapnya sebagai suatu “species” ke dalam genus pungutan (iuran). Jadi, pungutan lebih luas dari pajak, yang dimaskud dengan pungutan ialah memperoleh sejumlah uang atau barang oleh penguasa publik dari rumah tangga swasta dengan menggunakan kekuasaan politik dan/atau kekuasaan ekonomis yang timbul karena kekuasaan politik tersebut, menurut norma-norma yang ditetapkan olehnya. Pungutan ini dibagi dalam pajak dan retribusi.[19]

2. Prof. Dr. M.J.H. Smeeth memberikan definisi sebagai berikut:

Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.[20]

Dalam bukunya (De Economische betekenis der Belastingen, tahun 1951), Smeets mengakui bahwa definisinya hanya menonjolkan fungsi budgeter saja, baru kemudian ia menambahkan fungsi mengatur (regulerend) pada definisinya.[21]

3. Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul “Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong” memberikan definisi sebagai berikut:

Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.[22]

Dengan mencantumkan istilah “iuran wajib”, beliau mengharapkan terpenuhinya ciri, bahwa pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerja sama dengan wajib pajak, sehingga perlu pula dihindari penggunaan istilah “paksaan”. Lebih-lebih bilamana suatu kewajiban harus dilaksanakan berdasarkan undang-undang, dalam hal kewajiban itu tidak dilaksanakan, maka undang-undang menunjukkan cara pelaksanaan yang lain, hal ini tidak mengenai pajak saja. Selanjutnya berlebihan kiranya, kalau mengenai pajak, sekali lagi ditekankan pentingnya paksaan itu, seakan-akan tidak ada kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya. Sementara mengenai “kontraprestasi”, beliau berpendirian, bahwa justru untuk menyelenggarakan kontraprestasi itulah perlu dipungut pajak.[23]

4. Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (R.A.O.-1919) memberikan definisi sebagai berikut:

Pajak adalah bantuan uang secara insidentil atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya, yang dipungut oleh badan yang bersifat umu (negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu “Tatbestand” (sasaran pemajakan, yang karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak).[24]

Dari definisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa pajak dapat dipungut baik secara insidental, yaitu pada saat terjadinya tatbestand (keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang menurut undang-undang dapat dikenakan pajak), maupun secara periodik (berulang-ulang), yaitu pada waktu-waktu tertentu yang telah ditentukan.[25]

5. Leroy Beaulieu dalam bukunya yang berjudul “Traite de la science des Finance” pada tahun 1906 memberikan definisi sebagai berikut:

Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.[26]

Dari definisi ini titik berat pajak diletakkan pada fungsinya yang budgeter.

6. Prof. Edwin R.A. Seligman memberikan definisi sebagai berikut:

Pajak adalah pungutan yang dapat dipaksakan oleh pemerintah kepada seseorang untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang timbul untuk kepentingan umum, tanpa dapat ditunjukkan adanya jasa timbal yang dapat ditunjuk secara khusus.[27]

Definisi Seligman juga menunjukkan fungsi budgeter dari pajak.

7. Adolph Wagner memberikan definisi sebagai berikut:

Pajak adalah pungutan yang dapat dipaksakan kepada masyarakat yang sebagian ditujukan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bersifat umum, dan sebagian lagi untuk menyesuaikan perubahan pembagian pendapatan masyarakat.[28]

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa pajak mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi budgeter dan fungsi mengatur (regulerend).

8. Mr. Dr. N.J. Feldmann dalam bukunya “De overheidsmiddelen van Indonesia” memberikan definisi sebagai berikut:

Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa, (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.[29]

Dalam definisi ini, Feldmann, seperti halnya dengan beberapa sarjana lainnya, berpendapat bahwa terhadap pembayaran pajak tidak ada kontraprestasi dari negara.

9. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan” memberikan definisi sebagai berikut:

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.[30]

Ditambahkan dengan penjelasan sebagai berikut:

Dapat dipakasakan artinya, bahwa bila hutang pajak tidak dibayar, hutang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan, dan terhadap pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan jasa timbal balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi.[31]

Definisi di atas akhirnya dikoreksi sendiri oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam bukunya “Pajak dan Pembangunan, yaitu sebagai berikut:

Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”nya digunakan untuk “public saving” yang merupakan sumber utama untuk membiayai “publis investment”.[32]

10. Prof. S.I. Djajadiningrat memberikan definisi yang lebih luas daripada definisi yang diberikan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., yaitu sebagai berikut:

Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukum, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.[33]

Selain dari berbagai definisi yang diberikan oleh para ahli dalam bidang perpajakan, kiranya pembuat undang-undang juga hendak merumuskan definisi dari pajak, yaitu:

1. Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dalam Pasal 1 angka 2, dan Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dalam Pasal 1 angka 1, dirumuskan sebagai berikut:

Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, termasuk bea masuk dan cukai, dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dalam Pasal 1 angka 1, dirumuskan sebagai berikut:

Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, termasuk bea masuk dan cukai, dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, menurut peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah.

3. Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dalam Pasal 1 angka 2, dirumuskan sebagai berikut

Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, termasuk bea masuk dan cukai, dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah.

Dari ketiga rumusan di atas, kiranya pembuat undang-undang hendak membagi pajak menjadi dua bagian, yaitu pajak pusat yang dipungut oleh pemerintah pusat dan pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah.

4. Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Pasal 1 angka 1, dirumuskan sebagai berikut:

Pajak adalah konstribusi wajib kepada yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari berbagai definisi di atas, dapat diketahui bahwa adanya unsur-unsur dan ciri-ciri pajak, yaitu:

1. Unsur-unsur pajak, antara lain:

(1) adanya iuran/pungutan dari rakyat kepada negara;

(2) pajak dipungut berdasarkan undang-undang;

(3) pajak dapat dipaksakan;

(4) tanpa jasa timbal atau kontraprestasi langsung;

(5) dipergunakan untuk membiayai rumah tangga negara (pengeluaran umum pemerintah).

2. Ciri-ciri pajak, antara lain:

(1) pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, berdasarkan undang-undang;

(2) pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana dari wajib pajak kepada negara;

(3) pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;

(4) tidak adanya imbalan atau kontrapestasi langsung yang ditujukkan pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak;

(5) pajak berfungsi sebagai budgeter untuk mengisi kas negara, dan juga berfungsi untuk mengatur (regulerend) dalam rangka melaksanakan kebijakan negara.

C. KONTRAPRESTASI LANGSUNG

Dari berbagai definisi di atas, salah satu unsur dari pajak yang cukup menyita perhatian bagi para wajib pajak adalah unsur tanpa jasa timbal atau kontraprestasi langsung kepada para wajib pajak. Kiranya unsur ini pulalah yang menyebabkan wajib pajak merasakan keengganan untuk membayar pajak. Selain itu, unsur ini juga yang akhirnya membuat teori asuransi sebagai dasar pembenar negara memungut pajak dapat terbantahkan. Hal ini disebabkan tanpa adanya kontraprestasi langsung, negara tidak dapat dianalogikan sebagai pihak penanggung atau perusahaan asuransi yang dapat memberikan penggantian (kontraprestasi) secara langsung akibat kerugian yang dialami wajib pajak sebagai tertanggung asuransi dari pembayaran premi, yang dipersamakan dengan pungutan pajak, yang sebelumnya telah dibayarkan oleh wajib pajak.

Namun, unsur tanpa adanya jasa timbal atau kontraprestasi langsung dalam definisi pajak ini akhirnya dapat terbantahkan oleh Dr. Tjip Ismail, S.H., M.B.A., M.M. dalam disertasinya yang berjudul “Implikasi Otonomi Daerah Terhadap Paradigma Pajak Daerah di Indonesia”, dan kemudian dialihwujudkan dalam bentuk buku yang berjudul “Pengaturan Pajak Derah di Indonesia”.[34] Dalam bukunya tersebut Dr. Tjip Ismail, S.H., M.B.A., M.M. melihat kenyataan bahwa pengaturan pajak daerah di Indonesia telah menimbulkan ketimpangan antara beban pajak yang harus dipikul oleh wajib pajak dan tingkat pelayanan yang diterima oleh wajib pajak sehubungan kewajiban pembayaran pajaknya itu. Menurut beliau justru di masa otonomi daerah ketidakseimbangan antara beban pajak dan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada wajib pajak kian besar. Beliau menambahkan, seharusnya pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh wajib pajak harus “dikembalikan” kepada para pembayarnya secara seimbang dalam bentuk pelayanan untuk keperluan mana pajak tersebut dibayarkan. Pajak untuk jalan misalnya, hendaknya benar-benar digunakan oleh pemerinta daerah untuk keperluan perbaikan dan perluasan jalan dan tidak untuk keperluan membayar gaji para pegawai pemerintah daerah semata-mata. Selanjutnya menurut beliau, apabila pengaturan pajak daerah di Indonesia dapat menciptakan keseimbangan antara beban pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak dan pelayanan yang diberikan langsung oleh pemerintah daerah kepada wajib pajak, maka tingkat pelayanan yang langsung yang diberikan pemerintah daerah itu akan dapat menjadi standar bagi pengembangan investasi di daerah yang bersangkutan. Pada akhirnya, hal ini dapak berdampak positif bagi perekonomian dan pembangunan daerah tersebut, dan sudah barang tentu dampak positif tersebut pada gilirannya akan berdampak positif pula bagi perekonomian dan pembangunan nasional.[35]

Dari uraian buku di atas kiranya sudah dapat terlihat bahwa dalam hal ini Dr. Tjip Ismail, S.H., M.B.A., M.M. hendak mengemukakan adanya jasa timbal atau kontraprestasi langsung dalam pemungutan pajak, khususnya pajak daerah yang menjadi obyek disertasinya. Menurut beliau, kontraprestasi langsung yang dimaksud dalam pajak daerah ini diwujudkan dalam bentuk pelayanan yang seharusnya diberikan oleh pemerintah daerah kepada para wajib pajak yang telah melaksanakan kewajibannya. Namun perlu ditekankan disini, bahwa kontraprestasi langsung yang diberikan pemerintah daerah tersebut kiranya memiliki sifat yang kolektif atau umum, bukan bersifat individual. Apabila kita cermati dengan seksama, hal ini pulalah yang sebenarnya sudah dikemukakan oleh para ahli dalam bidang perpajakan dalam definisi-definisi mereka, diantaranya oleh Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Prof. Dr. M.J.H. Smeeth, Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., dan Prof. Edwin R.A. Seligman. Dalam definisi-definisinya mereka memasukkan unsur yang pada intinya menyatakan: “... tanpa adanya kontraprestasi secara langsung yang dapat ditunjukkan...”. Bahkan Prof. Dr. M.J.H. Smeeth lebih tegas lagi menyatakan: “... dalam hal yang individual ...”. Kiranya dari unsur-unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya yang ditiadakan dalam konsepsi pajak adalah kontraprestasi secara langsung yang “dapat dapat ditunjuk” atau bersifat individual, sementara yang bersifat kolektif atau umum seharusnya selalu diberikan atau bahkan dikedepankan oleh negara atau pemerintah sehingga tercipta keseimbangan antara beban pajak yang dipikul oleh wajib pajak dengan pelayanan yang diberikan sebagai kontraprestasi langsung dari pemerintah. Dengan adanya keseimbangan ini diharapkan asas keadilan yang disyaratkat dalam pemungutan pajak dapat tetap terwujudkan. Sebab asas keadilan bukan hanya dalam hal perundang-undangan, pengenaannya, dan pemungutannya, melainkan juga dalam hal beban yang harus dipikul oleh wajib pajak yang bersangkutan,[36] yang harus sesuai dengan apa yang dapat diterima sebagai hak dari wajib pajak tersebut.

Selain dari keseimbangan di atas, Dr. Tjip Ismail, S.H., M.B.A., M.M. dalam bukunya juga menyampaikan mengenai alokasi yang jelas dari pungutan pajak yang telah dibayarkan agar dapat bermuara pada tempat yang memang seharusnya diperuntukkan untuk itu. Pajak kendaraan bermotor misalnya, seperti yang diutarakan oleh Prof. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. dalam kata pengantarnya, hendaknya benar-benar digunakan oleh pemerinta daerah untuk keperluan perbaikan dan perluasan jalan dan tidak untuk keperluan membayar gaji para pegawai pemerintah daerah. Hal yang demikian tentunya akan mendidik pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah, dalam rangka membuat anggaran belanja yang sesuai, antara hulu dan hilir.

D. PENUTUP

Dari seluruh uraian di atas, kiranya terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam penulisan ini, diantaranya:

1. Bahwa dengan adanya kontraprestasi langsung dalam konsepsi pajak kiranya dapat menciptakan keseimbangan antara beban pajak yang dipikul oleh wajib pajak dengan pelayanan yang diberikan dari negara atau pemerintah. Sebab keseimbangan ini merupakan bentuk perwujudan dari asas keadilan yang disyaratkat dalam pemungutan pajak;

2. Bahwa alokasi yang jelas dari pemungutan pajak sampai dengan muara yang memang diperuntukkan untuk itu kiranya dapat menciptakan harmonisasi antara hulu dan hilir dalam sistem perpajakan di Indonesia. Hal ini pulalah yang mendidik pemerintah untuk dapat menetapkan anggaran belanja yang sesuai dengan anggaran yang sudah ditempatkan.

Semantara harapan yang lahir dari penulisan ini, diantaranya:

1. Diharapkan kontraprestasi langsung ini tidak hanya dapat diterapkan pada pajak daerah, melainkan juga dapat diterapkan pada pajak pusat yang dipungut oleh pemerintah pusat. Sehingga hal ini dapat menciptakan keharmonisan diantara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk dapat “memecut” keduanya agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada para wajib pajak yang bersangkutan;

2. Semoga dengan diluncurkannya buku “Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia” karya Dr. Tjip Ismail, S.H., M.B.A., M.M. ini dapat dijadikan sebagai sebuah momentum untuk merubah paradigma lama dan melahirkan paradigma baru dalam pajak, baik pusat maupun daerah, di Indonesia.



[1] S. Munawir, Perpajakan, ed. Keempat, cet. Pertama, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992), hal. 1.

[2] H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, ed. Revisi, cet. 5, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal 36.

[3] Ibid.

[4] Munawir, op. cit., hal. 9.

[5] R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, cet. Ke-VIII, (Jakarta: PT. Eresco, 1979), hal. 27.

[6] Munawir, op. cit., hal. 9-10.

[7] Brotodihardjo, op. cit.

[8] Munawir, op. cit., hal. 10.

[9] Brotodihardjo, op. cit., hal. 30.

[10] Bohari, op. cit., hal. 38-39.

[11] Brotodihardjo, op. cit., hal. 29.

[12] Munawir, op. cit.

[13] Bohari, op. cit., hal. 37.

[14] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen Ketiga), psl. 1 ayat (2).

[15] Munawir, op. cit., hal. 11.

[16] Sumyar, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Perpajakan, ed. 1, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2004), hal. 38: Pajak di dalam masyarakat mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi budgeter (finansial) dan fungsi mengatur (regulerend).

[17] Bohari, op. cit., hal. 39.

[18] Sumyar, op. cit., hal. 24.

[19] Bohari, op. cit., hal. 23.

[20] Brotodihardjo, op. cit., hal. 4.

[21] Ibid.

[22] Bohari, op. cit., hal. 24.

[23] Brotodihardjo, op. cit., hal. 4-5.

[24] Ibid., hal. 3.

[25] Sumyar, op. cit., hal. 26.

[26] Brotodihardjo, op. cit.

[27] Sumyar, op. cit.

[28] Ibid., hal. 25.

[29] Brotodihardjo, op. cit., hal. 3-4.

[30] Ibid., hal. 5.

[31] Ibid.

[32] Ibid.

[33] Sumyar, op. cit., hal. 3.

[34] Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, cet. II, (Jakarta: Yellow Printing, 2007).

[35] Ibid., Kata pengantar Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia dan Guru Besar Hukum Ekonomi: Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., hal. iv-v.

[36] Rochmat Soemitro, Asas-asas Hukum Perpajakan, cet. Pertama, (Bandung: Binacipta, 1991), hal. 7