Jumat, 12 Februari 2010

Dasar Hukum Peradilan In Absentia Dalam Hukum Pidana Ekonomi

Peradilan in absentia dalam hukum pidana ekonomi (arti sempit) diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam pasal itu disebutkan dua macam orang yang dapat diadili secara in absentia, yaitu:[1]

1) Pasal 16 ayat (1)[2]: orang yang telah meninggal dan dengan alasan yang cukup patut diduga telah melakukan tindak pidana ekonomi dapat dijatuhi pidana. Hal ini sama sekali berbeda dengan hukum pidana biasa sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Pasal 77 KUHP dikatakan bahwa: Hak menuntut hukuman gugur (tidak laku lagi) lantaran si tertuduh meninggal dunia. Dalam pasal ini terletak satu prinsip, bahwa penuntutan hukuman itu harus ditujukan kepada diri pribadi orang. Jika orang yang dituduh telah melakukan peristiwa pidana itu meninggal dunia, maka tuntutan atas peristiwa itu habis sampai demikian saja.[3]

2) Pasal 16 ayat (6)[4]: orang yang tidak dikenal. Pada awalnya dalam praktik peradilan terdapat dua penafsiran mengenai istilah “orang yang tidak dikenal”. Penafsiran pertama diungkapkan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 43/1960 Pid. Ek. Dalam putusan itu yang dimaksud “orang yang tidak dikenal” adalah sungguh-sungguh orang yang tidak dikenal. Sementara penafsiran kedua sebagaimana diungkapkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Malang yang berbunyi: “...... physik ada tetapi setelah dicari dengan perantaraan alat-alat negara tidak terdapat di mana alamatnya yang setepat-tepatnya.” Dari dua penafsiran tersebut akhirnya pembuat undang-undang mencoba untuk menetapkan interprestasi resmi sebagaimana yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 15 Tahun 1962 yang mengikuti penafsiran kedua, yaitu: Orang yang tidak dikenal termasuk orang yang diketahui namanya akan tetapi tidak diketahui tempat tinggalnya.[5] Namun kiranya interprestasi resmi yang ditetapkan pembuat undang-undang dirasakan kurang tepat untuk diterapkan dalam praktik peradilan pidana. Hal ini terkait dengan syarat formil yang harus dipenuhi dalam membuat surat dakwaan guna meneliti identitas terdakwa yang dihadapkan ke persidangan.[6] Dalam Pasal 143 ayat (2) sub a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)[7] ditegaskan bahwa:

Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.

Berdasarkan uraian pasal tersebut di atas, maka penuntut umum dalam membuat surat dakwaan sebelumnya harus sudah dapat memastikan, diantaranya nama lengkap dan alamat atau tempat tinggal dari tersangka. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan interpretasi resmi terhadap istilah “orang yang tidak dikenal” sebagaimana yang dituangkan dalam Perppu No. 15 Tahun 1962. Dalam interprestasi resmi tersebut terdapat kekeliruan karena telah mengenyampingkan alamat atau tempat tinggal dari tersangka. Oleh karena itu, kiranya akan lebih tepat apabila istilah “orang yang tidak dikenal” itu ditafsirkan sebagai orang yang identitasnya sebenarnya sudah jelas baik dari segi nama lengkap maupun alamat atau tempat tinggalnya, namun tidak hadir dalam persidangan tanpa alasan yang jelas meskipun telah dipanggil secara sah dan telah dicari dengan perantaraan alat-alat negara, akan tetapi tetap tidak dapat diketemukan.

Selain dari Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, peradilan in absentia dalam hukum pidana di bidang perekonomian (arti luas) diatur pula dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang peradilan in absentia diatur dalam Pasal 36 ayat (1)[8] dan Pasal 37[9]. Apabila kita cermati dengan seksama, ketentuan pada kedua pasal tersebut merupakan cerminan dari Pasal 16 ayat (1) dan ayat (6) Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dimana pada kedua pasal tersebut diatur mengenai dua macam orang yang dapat diadili secara in absentia, yaitu:

1) Orang yang tidak hadir meskipun telah dipanggil secara sah (Pasal 36 ayat (1));

2) Orang yang telah meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terhadapnya terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa orang tersebut telah melakukan tindak pidana pencucian uang (Pasal 37).

Sementara dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, peradilan in absentia diatur dalam Pasal 38 ayat (1), yang berbunyi:

Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir disidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

Berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya (Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang), Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya mengatur mengenai satu macam orang yang dapat diadili secara in absentia, yaitu orang yang telah dipanggil secara sah, namun tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah. Sementara bagi orang yang meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka perkara terhadapnya akan dialihkan kepada tuntutan ganti kerugian dalam gugatan perdata. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi:

Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah, ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segara menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.


[1] A. Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, cet. Kedua, (Jakarta: Erlangga, 1977), hal. 48.

[2] Pasal 16 ayat (1): Jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat:

a. memutus perampasan barang-barang yang telah disita. Dalam hal itu Pasal 10 Undang-Undang Darurat ini berlaku sepadan;

b. memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut pada Pasal 8 sub c dan dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.

[3] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1980), hal. 79.

[4] Pasal 16 ayat (6): Ketentuan tersebut dalam ayat (1) pada permulaan kalimat dan di bawah a berlaku juga, jika berdasarkan atas alasan-alasan dapat diterima bahwa tindak pidana ekpnomi itu dilakukan oleh seorang yang tidak dikenal.

[5] Hamzah, op. cit., hal. 50.

[6] A. Hamzah dan Irdan Dahlan, Surat Dakwaan, cet. I, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 23.

[7] Indonesia, Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN 3209.

[8] Pasal 36 ayat (1): Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hadir, Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tan pa kehadiran terdakwa.

[9] Pasal 37: Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa Harta Kekayaan terdakwa yang telah disita, dirampas untuk negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar